Search This Blog

Sunday, April 17, 2011

Hukum Dagang: Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Internasional

DALAM KONTEKS HUKUM NASIONAL
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dampak ke dalam (internal effect) suatu perjanjian internasional sangat erat hubungannya dengan sistem hukum nasional suatu negara
peserta.Perjanjian internasional tertentu tidak menghendaki adanya ketentuan pelaksanaan, sebaliknya ada perjanjian yang menghendaki ketentuan pelaksanaan dalam hukum nasionalnya.Dalam hukum internasional dikenal dua teori yang menjelaskan perlu-tidaknya ketentuan pelaksanaan nasional dalam rangka penerapan perjanjian internasional.Kedua teori dimaksud adalah teori adoption dan incorporation.

Menurut teori adoption, perjanjian internasional mempunyai dampak hukum (legal effect) dalam suasana nasional.Perjanjian internasioal tetap mempertahankan sifat internasionalnya (keasliannya), namun diterapkan dalam suasana hukum nasional.Sebagai dasar teori ini adalah aliran monisme, yangmengajarkan bahwa hukum nasional dan hukum iternasional merupakan satu kesatuan dari satu siatem hukum pada umumnya.Sementara itu, menurut teori incorporation, perjanjian internsional itu terlebih dahulu harus diinkorporasikan ke dalam hukum nasional, baru dapat diterapkan dan menjadi hukum nasional.Teori ini mendasarkan ajrannya pada aliran dualisme, yaitu hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda.Menurut pandangan kaum dualisme, ikutnya suatu negara dalam perjanjian internasional melalui ratifikasi secara simultan menjadikan perjanjian internasional diinkorporasikan ke dalam sistem hukum nasional.Sebaliknya menurut aliran dualisme yang strict dualist system, perjanjian internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional dengan ketentuan yang telah ada. Selama tranformasi ini belum ada dampak ke dalam (internal effect) perjanjian internasional tersebut tidak ada, kecuali bila ada keputusan hakim nasional atau mengadakan penafsiran hukum nasional, mulai dari asumsi bahwa pembuat undang-undang tidak bermaksud bertindak atau mempertahankan ketentuan yang bertentangan dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional.

Perlu atau tidaknya suatu perjanjian internasional dibuatkan aturan pelaksanaannya jika diterapkan dalam suasan hukum nasional bergantung pada isi perjanjian itu sendiri, yaitu apakan isi perjanjian tersebut mempunyai sifat sebagai perjanjian yang self-excuting?Sebaliknya jika suatu perjnajian tidak berlaku secara otomatis dalam suasana nasional, perjanjian internasioal itu berarti memiliki sifat non-self executing.

Jika perjanjian secara otomatis berlaku sebagi hukum internasional, maka dapat muncul permasalahannya, yaitu bagaimana status hukum perjanjian tersebut jika berhadapan dengan hukum nasional yang tidak sesuai dengan isi perjanjian tersebut? Dalam hal ini, jika kita kembali pada teori transformasi yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian yang telah diajdikan hukum nasional dengan jalan transformasi akan mempunyai status yang sama sebagai hukum nasional lainnya, asas lex posterior derogat lege priori akan diterapkan. Sebaliknya jika kita kembali kepada teori adoption yang mengajarkan di mana perjanjian diterapkan sebagai hukum internasiona, statusnya tidak otomatis sama dengan hukum nasional, melainkan membutuhkan penetuan sikan dari hukum nasional, ataupun hukum interasional atau praktik. Dalam hal ini, baik teori monisme maupun teori teori dualisme berpendapat bahwa suatu perjanjian dapat efektif berlaku pada akhirnya bergantung pada praktik nasional masing-masing negara.Hal yang jelas perlu diingat bahwa suatu negara bertanggung jawab atas penerapan perjanjian dalam suasana nasional.Jika penerapannya melanggar hukum internasional, suatu negara tidak dapat mempergunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai dalil pembelaan dan pembenaran atas pelanggaran tersebut.

Selanjutnya, bagaiman sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dalam praktik ketatanegaraan?Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus meninjau kembali hukum konstitusi, yaitu UUD 1945.UUD 1945 ternyata tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai hal tersebut.

Hal itu disebabkan oleh sering kali kaidah-kaidah hukum internasional itu memang tidak jelas atau sudah berubah sebagai refleksi dari masyarakat internasional yang sedang mengalami masa transisi dan mengalami perubahan yang begitu cepat.Dalam pemberlakuan perjanjian internasional, terutama perjanjian yan diwariskan oleh pemerintah kolonial Netherland dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda. Kadang-kadang ditempuh cara tidakan sepihak (unilateral act) akrena tidak ada alternatif lain bagi negara yang menghendaki perubahan cepat atas norma yang dirasakan tidak adil. Karena tidak adanya petunjuk pada UUD 1945, mengenai sikap Indonesia terhadap perjanjian ini, Prof. Mochtar Kusumaatmadja menegasakan sebagai berikut.[3] “...kita tidak menganut teori transformasi apalagi sistem Amerika Serikat.
Kita condong pada sistem negara Kontinental Eropa, yakni langsung menganggap diri kita terikat pada keawajiban melaksanakan dan menaati ketentuan-ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi undang-undang pelaksana...”

Meskipun demikian, beliau juga mengingatkan sebagai berikut.bahwa sebaiknya kita mengundangkan apa yang telah menjadikan kita sebagai pihak peserta suatu perjanjian yang telah mengikat kita, apalagi kelalaian untuk melakukan hal itu bisa menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum yang berlaku. Sebaliknya, dalam beberapa hal pengundangan demikian tidak perlu, masalahnya tidak menyangkut banyak orang atau persoalannya sangat teknis dan ruang lingkupnya sangat terbatas. Akan tetapi, pengundangan dalam Undang-Undang Nasional mutlak dipelukan, yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam Undang-Undang Nasional yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai perorangan.”

Dari pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja di atas, jelas kiranya bahwa dalam memberlakukan kaidah hukum internasional khususnya yang berasal dari suatu perjanjian internasional, UUD 1945 tidak memuat petunjuk dan untuk mengetahuinya, kita harus melihatnya pada praktik negara kita sendiri.













CONTOH KASUS
Indonesia dan Konvensi tentang Pengkuan dan Pelaksanaan keputusan Arbitrase Asing.

1. Konvensi Jenewa 1927

dengan dikeluarkannya Keppres No.34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Keppres No. 34 Tahun 1981 untuk mengesahkan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958. Konvensi ini telah mulai terlebih dahulu pada tanggal 7 Juni 1959. Republik Indonesia baru menyatakan turut serta pada konvensi ini dengan cara accescion, dan mulai tanggal 5 Agustus 1981. sebelum Konvensi New York 1958 ini dinyatakan berlaku, di Indonesia sebagai ahli waris dari Hindia Belanda berlaku Konvensi Jenewa 1927 tenang pelaksanaan Keputusan –keputusan Arbitrase luar negeri. Akan tetapi, sering timbul perbedaan paham mengenai masih berlaku atau tidaknya konvensi tersebut setal RI menjadi negara yang berdaulat. Dengan kata lain, masih berlaku atau tidaknya perjanjian internsional sehubungan dengan telah terjadinya suksesi negara/ pergantian negara (succession of state) dari Hindia Belanda sebagai negara yang digantikan (predecessor state) kepada negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara pengganti (sucessor state).

Sehubungan dengan hal tersebut, suksesi negara ini dapat dibedakan antara pengertian yuridis dan pergantian menurut kenyataan.

Pergantian negara karena kenyataan dapat terjadi karena perubahan yang disebabkan oleh penggabungan satu dan/atau lebih negara menjadi federasi, konfederasi, atau negara kesatuan, dapat juga karena sesi, aneksasi, dekolonisasi.

Hal yang menyangkut maslah kita sekarang adalah pergantian negara karena perubahan karena dekolonisasi.Bagaimanakah nasib perjanjian internasional karena dekolonisasi?Dalam hukum internsional dibedakan antara personal treaties dan inpersonal treaties, serta dispositive.Personal treaties ialah perjanjian yang dibuat oleh kepala negara/kepala pemerintahan secara pribadi sebagai kepala pemerintahan.Perjanjian demikian tidak akan beralih kepada penggantinya. Bentuk perjanjian tidak akan beralih kepada penggantinya. Bentuk perjanjian demikian yang personal dapat berbentuk perjanjian yang bersifat polotis, baik bilateral maupun multilateral.Contoh perjanjian yang bersifat politis adalah perjanjian persahabatan, persekutuan (aliansi) pemberian bantuan, dan lain sebagainya. Dapat pula berupa kerja sama dalam bidang peradilan, misalnya perjanjian ekstradisi dan konvesi tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan hakim arbitrase luar negeri.

Sementara itu, yang dimaksud dengan perjanjian yang termasuk dalam kategori dispositive adalah perjanjian yang menyangkut wilayah negara atau tanah.Perjanjian ini membebani suatu wilayah dengan status hukum, misalnya pernjanjian pangkalan militer, perjanjian perbatasan, dan lain sebgainya.Perjanjian ini mengikatkan negara dan tetap mengikat negara tersbut, meskipun negara tersebut, meskipun telah terjadi suksesi negara.

Ternyata dengan timbulnya negara-negara baru setelah Perang Dunia II dalam penyelesaian maslah pernjanjian internsional yang dibuat oleh negara penjajahnya timbul praktik yang berbeda-beda.Mereka tidak seluruhnya menaati teori di atas.Dalam hukum internasional, ada dua doktrin yang populer yang dapat dipakai untuk menganalisis sikap negara-negara baru dalam hal perjanjian internsional sehubungan suksesi negara. Doktrin tersebut ialah acquired rigths doctrine atau vested rights doctrine dan clean state doctrine.

Menurut acquired rights doctrine, hak yang telah diperoleh oleh negara yang diganti beralih kepada negara yang menggantikannya. Teori ini juga disebut dengan teori universal.Sementara itu, doktrin yang kedua berpendapat bahwa negara baru tidak dibebani dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internsional yang mengikat negara tersbut sebelum terjadinya suksesi negara.Doktrin ini juga disebut free choice doktrine.Ternyata dalam praktiknya, doktrin tersebut tidak dapat diikuti dengan strict dan penyelesaian masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan suksesi negara berbeda-beda, bergantung pada sikap negara-negara baru yang bersangkutan.

Cara lain untuk menyelesaikan masalah perjanjian internsional sehubungan dengan suksesi negara ialah dengan cara membuat inheritance agreement atau disebut perjanjian peralihan. Perjanjian peralihan ini merupakan cara agara beralihnya hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional dalam rangka suksesi negara dapat berjalan dengan lancar. Sebagai contoh untuk perjanjian peralihan ini adalah perjanjian yang dibuat antara negara bekas jajahan Prancis dengan Prancis. Indonesia sendiri mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Belanda, mulai dari perjanjian Linggarjati tentang penyerahan kedaulatan (1947), dan ditindaklanjuti dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang masalah Irian Barat (1949), kemudian disertai dengan perjanjian peralihan yang menampung kedudukan perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang dinyatakan berlaku bagi Hindia belanda. Pasal 5 ayat (1 dan 2) Perjanjian Peralihan KMB menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh Belanda tidak otomatis berlaku bagi bekas jajahannya di Netherlands Indie.Namun, setelah pemutusan perjanjian KMB, sikap Indonesia tetap bahwa perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dan dinyatakan berlaku bagi wilayah Hindia Belanda tidak otomatis berlaku bagi Indonesia.

Masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan terjadinya suksesi negara dapat diatasi dengan adanya Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara dalam hubungannya dengan penghormatan pada perjanjian internasional (Vienna Convention on Sucession of State in Respect of Treaties) yang diterima PBB pada 23 Agustus 1978.

Pasal 11 Konvensi Wina Tahun 1978 menetapkan bahwa suksesi negara tidak dapat memengaruhi apa pun terhadap garis batas wilayah dan hak yang berhubungan dengan rezim perbatasan yang ditetapjan oleh perjanjian internasional.[9] Sementara itu, Pasal 12 ayat (1,a-b) menetapkan pembentukan basis/pangkalan militer asing di wilayah negara itu karena terjadinya suksesi negara tidak mengikat negara pengganti.[10] Jadi, Pasal 12 (3) merupakan pengecualian atas prinsip yang ditetapkan dalam Pasal 12 (1,2). Pasal 11 dan Pasal 12 (1,2) sesuai dengan teori dispositive treaties tetap belaku, meskipun telah terjadi suksesi negara. Isi ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pasal 62 (2,a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang menegaskan bahwa perubahan mendasar tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian perbatasan.

Kembali lepada persoalan, bagaimanakah sikap Indonesia terhadap perjanjian internacional yang dibuat oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan dinyatakan berlaku bagi Hindia Belanda dalam hubungannya dengan telah terjadinya suksesi negara pada tahun 1945?Setelah berlakunya KMB sebagai perjanjian peralihan (devolution agreement), ternyata hubungan antara Indonesia dan Negeri Belanda tidak harmonis karena masalah Irian Barat, di mana pada saat itu Irian Barat masih tetap dikuasai oleh Kerajaan Belanda.

Perselisihan antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat itu, kemudian dipergunakan oleh Indonesia untuk membatalkan secara sepihak hubungan dengan pihak Kerajaan Belanda. Republik Indonesia dengan menggunakan prinsip rebus sic stantibus dan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 13 tahun 1956[, menyatakan tidak terikat lagi pada Perjanjian KMB, dan secara tegas telah memutuskan ikatannya dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar tersebut. Setelah pemutusan terhadap perjanjian KMB, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dalam kaitannya dengan suksesi negara berlandaskan pada UU No. 13 tahun 1956. Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan Indonesia kepada Sekretaris Jenderal PBB (sebagai deposan untuk perjanjian yang didaftarkan pada LBB/PBB sesuai dengan ketentuan Pasal 102 (1) Piagam PBB) Indonesia secara tegas menyatakan sikap tetap terikat oleh beberapa konvensi, antara lain adalah : Convention for the Settlement of Certain Conflicts of Laws in Connection with Cheques and Protocol (Geneva March 19, 1931); Convention on the Stamps Laws in Connection with Cheques (Geneva, March 19, 1931), Convention Providing Uniform Law for Cheques and Protocol (Geneva, March 19 1931). Oleh karena itu, untuk selanjutnya sikap Republik Indonesia terhadap perjanjian internasional yang dahulu dibuat oleh Kerajaan Belanda dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda, tidak secara otomatis berlaku. Hal ini sesuai dengan Surat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia tanggal 19 Desember 1972 o. 12727, yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:

“…Praktik yang dianut oleh Indonesia dewasa ini ialaha bahwa Republik Indonesia hanya menjadi pihak pada suatu perjanjian yang dahulu dibuat oleh Nederland dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda, selama Republik Indonesia secara tegas menyatakan demikian, sesuai dengan prosedur dalam hukum perjanjian internasional, kecuali mengenai perbatasan.”

Kembali pada persoalan.Bagaimana sikap Republik Indonesia terhadap Konvensi Jenewa 1927 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Hakim Arbitrase Luar Negeri?Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat.Pendapat pertama dikemukakan oleh Prof. Sudargo Gautama sebagai berikut.

“…kami sendiri berpendapat bahwa Konvensi Jenewa tahun 1927 ini masih berlaku untuk negara kita. Hal ini disebabkan oleh karena dalam Konferensi Meja Bundar, dalam pasal peralihan telah dinyatakan bahwa berkenaan dengan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia dihubungkan dengan Penetapan Presiden No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, maka persetujuan internasional yang berlaku untuk wilayah Republik Indonesia pada saat penyerahan kedaulatan tetap berlaku.”

Jika kita hubungkan dengan pendapat yang telah penulis utarakan di muka, agaknya Prof. Sudargo Gautama ini menganut teori acquired rights/vested rights, atau juga disebut dengan teori universal.

Pendapat kedua dianut oleh Prof. Asikin Kusumaatmadja, yaitu sebagai berikut.“Konvensi ini sudah tidak berlaku lagi sejak Konferensi Meja Bundar.Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada pernyataan secara tegas dan aktif oleh pihak Indonesia bahwa kita hendak menganggap diri terikat pada konvensi itu.”

Pendapat yang kedua ini tampaknya sesuai dengan doktrin clean state.

Agaknya terhadap pendapat yang berbeda-beda sebagaimana telah penulis paparkan di atas masing-masing mempunyai pendukungnya.Sekali lagi penulis tegaskan bahwa adanya perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya ketentuan perundang-undangan kita yang tegas-tegas mengatur masalah tersebut.

2. Implementasi Konvensi New York 1958 di Indonesia

Seperti telah penulis utarakan pada bagian awal pembahasan bab ini, Indonesia menjadi peserta Konvensi New York 1958 dengan pernyataan ikut serta (aksesi) melalui Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftarkan pada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 7 Oktober 1981.

Indonesia hanya mengajukan persyaratan (reservation) pertama saja, yaitu reciprocity principles (asas perberlakuan secara timbal balik).

Aksesi ini merupakan langkah penting terhadap perkembangan iklim arbitrase di Indonesia. Hal ini penting karena dewasa ini dengan semakin meningkatnya kontrak internasional yang diadakan oleh pengusaha Indonesia dengan pihak asing, di mana klausul arbitrase tercakup di dalamnya, keppres tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah bersungguh-sungguh menghormati klausul tersebut beserta akibat hukum yang ditimbulkannya.

Meskipun Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York 1958, yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan konvensi tersebut mengikat Indonesia, ternyata dalam pelaksanaannya kemudian masalah baru tentang pelaksanaan keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri muncul.Masalah ini baru berkisar pada adanya dua pendapat yang saling bertolak belakang antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan para pakar hukum ternama, khususnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa meskipun pemerintah Republik Indonesia telah mengaksesi konvensi melalui Keppres No. 34 tahun 1981, namun dengan adanya perundang-undangan tersebut tidak serta merta berarti keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia. Mahkamah berpendapat perlu adanya peraturan pelaksanaan dari keppres tersebut agar pelaksanaan (eksekusi) suatu keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan.Lengkapnya Mahkamah menyatakan sebagai berikut.

“Bahwa selanjutnya mengenai Keppres No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai dengan praktik hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung kepada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum internasional bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan pelaksanaan putusan hakim arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.”[3]

Sebaliknya, Prof. Dr. Sudargo Gautama berpendapat bahwa keppres tersebut tidak perlu dijabarkan oleh peraturan perundang-undangan pelaksanaannya.Menurut beliau, sebuah keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, berlainan dengan undang-undang yang menentukan.Untuk itu, diperlukan peraturan pelaksanaan. Beliau memberikan sebuah contoh tentang pasal 43 Undang-undang Nomor 1 Tentang Pokok-pokok Perkawinan di Indonesia Tahun 1974 yang menentukan bahwa anak di luar kawin mengikuti status hukum sang ibu. Hubungan lebih lanjut antara Ibu dan anak dengan keluarga sang ibu akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah ini hingga kini belum pernah diterbitkan.

Menurut hemat penulis, sebenarnya tidak perlu ada pertentangan antara pemerintah (cq. Mahkamah Agung Republik Indonesia) dengan para pakar hukum bila yang dipertentangkan itu hanya soal perlu tidaknya peraturan pelaksanaan. Kehendak pemerintah ketika mengaksesi Konvensi New York 1958 sudah jelas antara lain adalah untuk terikat kepada ketentuan-ketentuan Konvensi New York tahun 1958 dan menghormati secara timbal balik keputusan hakim arbitrase yang dibuat di luar negeri. Sebagai konsekuensi dari tindakan itu sudah barang tentu pemerintah seyogianya berupaya agar keputusan hakim arbitrase asing yang dibuat di luar negeri tersebut dihormati dan dilaksanakan.

Peran pemerintah disini sudah jelas, yakni sebagai alat pengontrol terhadap keputusan tersebut agar benar-benar dapat dilaksanakan di dalam negeri.Jadi, peran kontrol inilah yang diemban oleh pemerintah.Sementara itu, yang memegang kendali utama dan sebenarnya dalam hal ini adalah tetap ada pada para pihak yang telah membuat klausul arbitrase dan menetapkan arbitrasenya, serta kesepakatan untuk melaksanakan segala keputusan yang dikeluarkan oleh arbitrase yang bersangkutan.

Seperti telah diutarakan pada bab terdahulu, masalah keputusan hakim arbitrase asing di Amerika Serikat tidak begitu menjadi masalah yang terlalu signifikan lagi karena memang para pihak (terutama para pengusaha di negeri Paman Sam itu) telah benar-benar konsisten dan konsekuen dengan apa yang telah mereka tuangkan di dalam klausul arbitrase. Jadi, peranan pengadilan di sana tidak begitu banyak. Memang untuk para pengusaha di Indonesia, tampaknya komitmen dan taraf pemahaman, penghargaan terhadap klausul arbitrase belum setara dengan para pengusaha di luar negeri (Amerika Serikat) yang telah cukup lama berkecimpung dalam lembaga arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa komersial mereka. Di tanah air, pengenalan terhadap lembaga arbitrase saja masih minim sekali.Bukan saja bagi kalangan pengusaha, tetapi juga di kalangan perguruan tinggi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990, sekaligus menjawab dua masalah penafsiran hukum yang saling berkaitan yang telah lama berkembang.Masalah pertama, apakah suatu keppres memerlukan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya atau tidak, sebagaimana halnya dengan undang-undang?Masalah kedua, badan peradilan manakah yang memiliki wewenang untuk menangani masalah pelaksanaan keputusan hakim arbitrase asing tersebut?

Masalah pertama, sehubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tahun 1958 dengan Keppres No. 34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981.Namun, baik Konvensi New York 1958, maupun keppresnya sendiri tidak mengatur tentang bagaimana prosedur pelaksanaan kepuytusan arbitrase sehingga timbul reaksi dari para ahli hukum kita.Seperti telah diutarakan di muka bahwa keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, tetapi pihak pemerintah menganggapnya perlu. Mengulangi pernyataan sebelumnya, menurut hemat kami, peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 itu sekaligus merupakan penjabaran dan petunjuk lebih lanjut dari Keppres No. 34 tahun 1981, bukan peraturan pelaksanaan sebagaimana lazimnya yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan di sini bahwa keppres pun, bila pemerintah menganggap perlu, dapat dibuatkan aturan pelaksanaan.

Masalah kedua, yaitu siapakah dan atau lembaga peradilan mana yang berwenang menangani masalah putusan arbitrase asing tersebut? Terjawab dengan ketentuan dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1990 itu sendiri bahwa badan yang diberi kewenangan untuk menangani masalah yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan hakim arbitrase asing itu adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua pendapat mengenai perlu tidaknya keppres dibuatkan aturan pelaksanaannya telah mengundang perdebatan yang sengit dan memperoleh tanggapan yang saling bertolak belakang antara satu pihak dari pemerintah (cq. Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan pihak pakar hukum Indonesia.Akhirnya, telah terjawab dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1990 itu dimungkinkan.Karena tidak adanya ketentuan dalam peraturan hukum nasional Indonesia yang mengatur, bagaimanakah penerapan perjanjian internasional sebagai pelaksanaan dari Pasal 11 UUD 1945? Meskipun ada Surat Presiden No. 2826, dan telah dijadikan sebagai pedoman dalam hubungannya dengan pelaksanaan Pasal 11 sesuai dengan konvensi ketatanegaraan, pelaksanaan Surat Presiden No. 2826 dalam praktiknya belum dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Akibatnya praktik negara kita sehubungan dengan perjanjian internasional masih banyak masalah yang harus dibenahi.



<script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "ca-pub-9685583786751794";
/* prabu-wordpress */
google_ad_slot = "0137386347";
google_ad_width = 120;
google_ad_height = 600;
//-->
</script>
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script>

No comments:

Post a Comment