Search This Blog

Wednesday, April 20, 2011

Teori Realisme Dalam Hubungan Internasional


Ketika perang dunia kedua (PD II) pecah pada tahun 1938, para ahli dan negarawan mulai menyadari bahwa mekanisme ideal normatif yang berlandaskan moral tidak cukup memadai untuk memastikan terciptanya perdamaian dunia.  Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang dibentuk paska PD I ternyata tidak efektif untuk mengendalikan aspek agresif negara bangsa dalam interaksinya dengan negara lain.  Negara-negara pada dasarnya ingin berdamai, tetapi tidak ada jaminan bahwa negara lain juga demikian. Sehingga, asumsi umum yang digunakan oleh setiap negara dalam konteks hubungannya dengan negara lain adalah "urusan perdamaian dan keamanan negara kita adalah urusan kita sendiri.  Kita tidak bisa mengharapkan perdamaian itu akan diberikan oleh negara lain".  Sehingga, setiap negara yang menghendaki perdamaian itu akan terus memperkuat dirinya (biasanya melalui pembangunan ekonomi dan angkatan bersenjata) untuk memastikan bahwa keamanan terjamin.
Pemahaman akademis tentang gagasan realisme dalam studi hubungan internasional memang baru muncul pada masa-masa paska PD II.  Akan tetapi, akar filosofisnya telah dapat dilacak dalam sejarah Yunani Kuno dan India Kuno.  Para ahli politik dan sejarah meneliti bahwa motif-motif yang berkaitan dengan kekuasaan dan upaya mempertahankan diri dari serangan lawan merupakan fenomena yang telah ditemui dalam menjelaskan hubungan kerajaan-kerajaan pada masa lalu, sebagaimana dikemukakan oleh Thucydides dalam "The History of the Pelopponesian War" (abad ke-5 SM) atau oleh Kautilya dalam "Arthasastra" (abad ke-4 SM), atau juga oleh Sun Tzu dalam "The art of War" (abad ke-6 SM).  Meskipun dengan latar belakang yang berbeda dan fokus yang beragam, namun karya-karya klasik tersebut menunjukkan bahwa ide realisme politik yang diangkat kembali oleh Machiavelli (dalam "il Prince", 1513) atau oleh H.J. Morghentau (dalam "Politics Among Nations", 1948) masih relevan dan memiliki justifikasi dalam memahami filsafat tentang hakekat manusia.
The History of Pelopponesian War mengulas tentang hubungan kekuasaan yang terjadi dalam peperangan antara Sparta dan Athena pada masa itu.  Thucydides mengulas tentang perlunya kekuatan militer dikembangkan sesuai kondisi aktual yang dihadapi.  Negara yang ingin berkuasa, dalam pandangan Thucydides, harus dapat menguasai teknologi mliter di lautan, sebagai angkatan lautlah yang menjadi sumber kekuasaan (power) dalam masa perang.  Gagasan ini kemudian direvitalisasi oleh Sir Alfred Thayer Mahan berabad-abad kemudian dalam karyanya: "The Influence of Sea Power Upon History" (1890).  Karya ini menjadi inspirasi negara-negara yang terlibat dalam Perang Dunia I, ketika Inggris masih menguasai hegemony internasional dengan kekuatan angkatan lautnya.
Kautilya (atau juga dikenal dengan nama Chanakya) mengulas dalam Arthasastra tentang dinamika kebijakan moneter dan fiskal dan kaitannya dengan kesejahteraan rakyat, hubungan internasional, dan strategi perang.  Menurut Kautilya, jika ingin memiliki kekuasaan dalam hubungan dengan negara lain dan memenangkan perang, setiap negara harus memiliki ekonomi yang kuat.  (Bandingkan dengan Thucydides yang lebih menekankan pada peranan militer).  Kautilya juga menekankan sosok pemimpinan yang energik dan dinamis yang dibutuhkan suatu negara untuk meningkatkan kharisma dan pengaruh negara itu.  Jika pemimpin energik, rakyat dan ekonominya juga akan bergeliat, sementara jika pemimpinnya malas dan lamban, hal yang sama akan terjadi pada negara.
Sun Tzu memberi warisan yang lebih praktis dan empirik tentang strategi memenangkan perang.  Dengan latar belakangnya sebagai seorang ahli matematika, Sun Tzu menurunkan strategi yang berbasis pada perhitungan-perhitungan matang terhadap kekuatan dan kelemahan, pengaruh dan dominasi, atau diplomasi dan strategi. Orientasi karya ini adalah bagaimana memenangkan perang.  Untuk itu, Sun Tzu memberikan ajaran mendasar, "jika ingin memenangkan peperangan, maka kenali dirimu sebaik-baiknya, dan kenali lawanmu lebih baik lagi".  Dinamika kekuatan bukan saja bersumber dari kondisi aktual, tetapi merupakan resultante relatif dari hasil interaksi dengan pihak lain.
Gagasan-gagasan awal ini dalam perkembangannya kemudian mempengaruhi pemikiran realisme pada masa berikutnya.  Thomas Hobbes, misalnya, mencoba mengelaborasi tentang gagasan perlunya memperkuat negara untuk memenangkan perang dalam karyanya "Leviathan" (1651).  Buku yang diakui para ahli peletak dasar teori kontrak sosial ini menegaskan bahwa chaos atau perang sipil adalah situasi yang bersifat alamiah.  Asumsi relasi manusia adalah "the war of all against all" (bellum omnium contra omnes), suatu ide yang berasal dari pemahaman bahwa setiap manusia cenderung agresif dan memangsa manusia lainnya, dan ini adalah hal yang alamiah.  Untuk dapat mengendalikan chaos dan mengatasi perang sipil ini, hanya ada satu cara, yaitu: memastikan terdapatnya pemerintahan yang kuat (the strong central government).
Berbagai ide inilah yang menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya realisme dalam hubungan internasional.  Asumsi-asumsi pragmatis dan mekanisme yang bersifat strategi-taktis menjadi mekanisme yang dianggap lebih masuk akal untuk menciptakan perdamaian.  Dengan kata lain, perdamaian itu hanya mungkin tercipta jika negara-negara bertindak dengan apa adanya, termasuk memenangkan peperangan jika perang tidak terhindarkan.  Dan peperangan memang tidak mungkin dihindari.  Negara hadir untuk memperkuat militer dan ekonominya, dengan menggunakan segala pilihan yang tersedia (maksimalisasi sumber daya domestik, mobilisasi warga, aliansi dan persekutuan, dan sebagainya).

Pada tahun 1814 negara-negara Eropa (yang ketika itu menjadi sentra hubungan antarbangsa) mencapai kesepakatan perdamaian yang disebut Concert of Europe.  Kesepakatan ini menjadi aturan hukum yang berhasil menghentikan peperangan-peperangan besar dan menciptakan perdamaian selama seratus tahun.  Masa yang dikenal sebagai The Golden Age of Diplomacy ini sekaligus menunjukkan penurunan dominasi realisme.  Namun pada saat Perang Dunia I pecah pada tahun 1914-1918, serta dengan kegagalan Liga Bangsa-bangsa menjamin perdamaian yang menyebabkan pecahnya Perang Dunia II pada 1945, asumsi-asumsi realisme kembali memperoleh dukungan realitas hubungan antarbangsa.  Negara-negara nampaknya tidak cukup percaya pada mekanisme ideal normatif yang bersifat moralistik (melalui kesepakatan-kesepakatan internasional).  Satu-satunya cara memastikan perdamaian, menurut pandangan penganut realisme, adalah memastikan bahwa negara kita cukup kuat untuk memenangkan perang.***

No comments:

Post a Comment