Search This Blog

Thursday, April 21, 2011

Mengenal St Aisyah, Istri Baginda Muhammad SAW

Nama Aisyah sungguh tidak asing lagi di kalangan kaum muslimin. Memang Aisyah adalah isteri Rasulullah Saw terkemuka setelah Khadijah. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwanya. Di kalangan wanita, dia adalah sosok yang banyak menghafal haits-hadits Nabi, dan di antara isteri-isteri Nabi, ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki isteri-isteri lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah Saw yang memang dikhususkan Allah Swt  untuk menemani Rasululah Saw yang hanya berdua itu. Wahyu banyak turun ketika
 Rasulullah Saw berada di kamar Aisyah, bahkan ketika berada dalam satu selimut dengan Aisyah.
Nama Aisyah berasal dari kata al-Aisy. Terkadang Rasulullah Saw memanggilnya dengan “Ya Aisy.” Ketika Jibril mendatangi Rasulullah Saw, ia enyampaikan salamnya kepada Aisyah, “Ya Aisy, ini Jibril menyampaikan salamnya kepadamu,” hadits sahih oleh Bukhari. Menurut Turmudzi jika Rasulullah Saw berbicara dengan Aisyah selalu menyebut dengan, “Ya Muwafaqah (Hai orang yang mendapat taufiq).

A. Latar Belakang Aisyah

Aisyah adalah putri Abu Bakar bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Kaab bin Saad bin Murrah bin Kaab bin Luay. Nasabnya ini berarti bertemu dengan Rasulullah Saw pada Murrah. Ia berasal dari Bani Taim dari suku Quraisy.
Para ahli sejarah sepakat bahwa nama ayahnya adalah Abdullah. Nama itu diberikan oleh Rasulullah Saw ketika Abu Bakar memeluk Islam. Sebelum Islam, nama Abu Bakar adalah Abdul Ka’bah, dengan sebutan Atiq. Abu Bakar aalah sahabat Rasulullah Saw terkemuka. Rasulullah Saw pernah berkata kepada Abu Bakar, “Engkau adalah orang yang dibebaskan Allah Swt  dari api neraka.” Abu Bakarlah orang yang pertama kali membenarkan peristiwa Isra mi’raj ketia orang-orang tidak mempercayainya.
Ibu Aisyah biasa dipanggil Ummu Ruman. Para ahli belum sepakat mengenai nama sebenarnya. Ada yang megatakan Zainab sementara yang lain menyebutnya Daad binti Amir bin Uwaimir bin Abdu Syams. Walaupun demikian, para ahli sepakat bahwa ia berasal dari Bani Firas bin Ghanim bin Malik bin Kinanah. Ummu Ruman sendiri masuk Islam sejak awal permulaan Islam  di Makah. “Aku tidak memahami kedua orang tuaku, kecuali mereka memeluk Islam,” demikian Aisyah pernah mengatakan. Pada tahun ke 6 hijriah Ummu Ruman wafat. Pada saat itu, menurut Ibnu Saad dalam ‘Thabaqat’ bahwa Rasulullah Saw turun ke kuburnya dan memohonkan ampun baginya. Namun menurut Imam Bukhari, Ummu Ruman wafat pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Menurut Ibnu Hajar dalam al-Ishabah, Bukharilah yang dapat dibenarkan.
Dari perkawinannya dengan Ummu Ruman Abu Bakar memiliki dua putera, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Anak-anak lainya, Abdullah dan Asma berasal dari isterinya yang lain yaitu Qatlah binti Abdul Uzza al-Quraisyiyah al-Amiriyah, isteri pertama yang dinikahinya pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum.
Aisyah lahir empat tahun setelah kenabian, lebih muda delapan tahun dari Fatimah, puteri Rasulullah Saw. Ketika dinikahi Rasulullah Saw usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat, Rasulullah Saw membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Bahkan tidak jarang Rasulullah Saw mengundang teman-temannya untuk bermain bersamanya sebagaimana dikatakan oleh Aisyah, “Beliau memasukkan teman-teman wanita untuk bermain denganku.” Bahkan ketika ada orang-orang Habasyah bermain tombak di halaman masjid, Rasulullah Saw mengajak Aisyah untuk menyaksikannya. Itulah sebabnya, menurut Bukhari, Aisyah selalu menasihati para orang tua, “Hargailah anak gadis yang masih suka bermain.”

B. Pinangan

Sebelum meminang Aisyah, Rasululah Saw pernah mengabarkan kepada Aisyah, “Aku melihatmu tiga malam berturut-turut dalam mimpi. Malaikat mendatagiku denganmembawa gambarmu dalam selembar sutera sambil berkata,’inilah isterimu. Ketika kubuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini perintah Allah, niscaya akan terlaksana.” Waktu itu Aisyah menjawab, “Jika ini memang kehendak Allah, silahkan.” (HR. Muttafaq alaih) Sementara Turmudzi meriwayatkan dari Aisyah, “Jibril yang berwujud Aisyah dengan pakaian sutera hijau mendatangi Rasul seraya berkata, ‘Ini isterimu di dunia dan akhirat.” Peristiwa ini terjadi setelah dua tahun wafatnya Khadijah, isteri pertama Rasulullah Saw.
Menurut Aisyah, sepeninggal Khadijah, Rasululah Saw didatangi Khaulah binti Hakim yang menawarkan dua wanita. Rasulullah Saw bertanya siapakah mereka? Khaulah menjawab, “Jika Anda  menginginkan perawan, maka ia adalah Aisyah, putri makhluk yang paling Anda  cintai dan jika janda maka ia adalah Saudah binti Zum’ah.” Waktu itu Rasulullah Saw memilih keduanya, walaupun dalam kenyataannya, beliau melangsungkan pernikahan dengan Saudah terlebih dahulu yang tentunya dengan berbagai pertimbangan.
Khaulah kemudian menemui Ummu Ruman dan berkata, “Hai Ummu Ruman, kebaikan dan berkah apa yang dimasukkan Allah Swt terhadap kalian?” Diriwayatkan bahwa pada waktu itu, Aisyah telah dipinang oleh Muthim bin Adiy untuk anaknya. Ketika mendengar bahwa Rasulullah Saw memiliki maksud terhadap Aisyah, Abu Bakar segera menemui Muthim untuk menanyakan kelanjutan pinangannya. Ketika itu isteri Muthim menjawab, “Jika kami nikahkan putra kami dengan putrimu, tentu engkau akan memasukkan putraku untuk memeluk Islam.” Ketika hal ini ditanyakan kepada anak Muthim, ia menjawab, “Bukankah engkau telah mendengat jawaban ibuku?” Dengan jawaban yang tidak simpatik ini Abu Bakar merasa tidak lagi memiliki ikatan apapun dengan mereka. Dengan senang hati Abu Bakar menerima lamaran itu dan akhirnya pertunanganpun dilaksanakan. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Saw hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara isteri-isteri beliau ditinggalkan di Makah yang kemudian dijemput oleh utusan Rasulullah Saw. Sebagaimana yang diriwayatkan oelh Aisyah sendiri,
“Ketika Rasulullah Saw berangkat hijarah ke Madinah, kami bersama putra putrinya, masih di Makah. Sesampainya di Madinah, barulah beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rifa’I menyusul kami. Rasul membekali dua utusan itu dengan dua ekor unta dan lima ratus dirham yang didapat dari Abu Bakar (ayahnya). Abdullah bin Uraiqith juga diutus bersama denga dua orang tersebut. Bersama mereka tiga ekor unta. Abu Bakar menulis surat kepada Abdullah, putranya, agar membawa Ummu Ruman, aku dan Asma, saudaraku. Ketika tiba di Qudaid, Zaid membeli tiga ekor unta, lalu masuk Makah. Di kota suci ini mereka bertemu dengan Thalhah yang juga akan berangkat hijrah ke Madinah dengan keluarga Abu Bakar. Kamipun keluar, Zaid dan Abu Rafi’ keluar bersama Fatimah, Ummu Kultsum, Saudah, ummu Aiman dan Usamah. Kami pergi bersama hingga ketika tiba di al-Baidh, hilanglah untaku. Ibuku yang berada di depanku berteriak, ‘Wahai puteriku, oh… pengantin.’ Akupun tersusul. Kami tiba ketika kaum muslimin sedang membangun masjid.”
Aisyah juga mengisahkan, “Kami tiba sebagai orang-orang yang hijrah dan kami masuk ke desa Dhainah. Kemudian unta yang kunaiki lari dengan kencang. Demi Allah Swt aku tidak lupa dengan ucapan ibuku, ‘Hai pengantin!’ Tapi aku memegangi kepala untaku dengan erat. Tiba-tiba terdengar suara, ‘Lepaskan tali kendalinya!’ Akupun melepaskannya. Tiba-tiba unta itu berdiri tegak dan berbelok, seolah-olah ada manusia berdiri di bawahnya.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Thabrani)

C. Di Madinah
Pada waktu itu Madinah dikenal dengan wabah penyakitnya. Hal ini disebabkan iklim dan cuaca yang buruk, kaum muhajirinbanyak yang jauh sakit. Tidak terkecuali Aisyah. Ia sakit selama sebulan. Tubuhnya lemah rambutnya berguguran hingga sebatas telinga, ibunyalah yang dengan sabar merawatnya, terlebih menjelang hari pernikahanya. Aisyah berkata, “Maka, aku memakan Qitsatsa dan kurma matang, hingga kesehatanku pulih dan tubuhku gemuk.” (HR. Ibnu Majah).
Banyaknya kaum Muhajirin yang jatuh sakit, mendorong Rasulullah Saw berdoa,
“Ya Allah, jadikanlah kami sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Makah atau bahkan lebih lagi. Embuhkanlah penghuninya dari penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dari penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah Swt mengabulkan doa Rasululah Saw dan cuasca berangsur baik, hingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin.

D. Pernikahan Dengan Rasulullah Saw
Beberapa waktu setelah menetap di Madinah dilangsungkanlah pernikahan beliau dengan Aisyah. Asma binti Yazid mengatakan, “Kamilah yang mendandani Aisyah dan mengantarkannya ke pelaminan.” Nabi juga menawarkan susu pada kami, tetapi kami menolaknya.” Rasulullah Saw memahami keadaan mereka, sehingga beliau mengatakan, “Janganlah kalian berdusta dalam keadaan lapar.” Mereka memang tengah lapar. Sementara dalam riwayat juga disebutkan, bahwa setelah Asma menghiasai Aisyah, kemudian didudukkan bersanding dengan Rasulullah Saw. Segelas susu dihidangkan dan diminum oleh beliau. Kemudian Rasulullah Saw juga memberikannya kepada Aisyah. Asma berkata kepada Aisyah, “Ambillah Aisyah!” Ia kemudian meminumnya sedikit. Pada waktu itu Rasulullah Saw Berkata, “Beri juga temanmu.”
Ketika ditanyakan tentang hidangan pada saat pernikahan itu, Aisyah mengatakan, “Tidak demi Allah. Tidak disembelih seekor unta maupun kambing. Hanya saja Saad bin Ubadah mengirimkan sebuah mangkok besar kepada Rasulullah Saw dan menggunakannya di antara isterinya. Rasulullah Saw sendiri yang menghidangkan susu dan makanan pada tamunya.”
Mahar yang diberikan Rasulullah Saw untuk Aisyah sebnyak lima ratus dirham. Hal ini diungkapkan Aisyah, ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman, “Berapa mahar Rasulullah Saw?” Aisyah menjawab, “Untuk  isteri-iserinya, maharnya dua belas setengah Uqiyah,” jawab Aisyah. Dua bela setengah uqiyah adlah sama dengan lima ratus dirham (HR. Muslim).

E. Bersama Rasulullah Saw
Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehhingga kamar itu disebut sebagai kamar tempat rurunnya wahyu. Di hati kedudukan Aisyah sangat istimewa dan itu tidak dialami oleh isteri-isteri beliau yang lain. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik disebutkan, “Cinta pertama yang terjadi dalam Islam adalah cintanya Rasulullah Saw kepada Aisyah.”
Sementara dalam riwayat Turmudzi desebutkan, “Bahwa ada seorang yang menghina Aisyah di depan Ammar bin Yassir sehingga Ammar berseru, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telah menyakiti isteri kecintaan Rasulullah Saw!” (HR. Turmudzi)
Tentang sikap Rasulullah Saw terhadap Aisyah yang demikian mencintainya seperti itu, telah diketahui oleh kaum muslimin. Karena itulah, untuk memberikan hadiah-hadiah, mereka menunggu giliran Rasulullah Saw berada di rumah Aisyah. Hal ini kemudian menimbulkan kecemburuan di kalangan isteri-isteri yang lain. Tentang hal ini Aisyah meriwayatkan,
“Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah Saw padaku. Karena itu teman-temanku (Isteri Nabi yang lain) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, demi Allah Swt orang-orang berbondong-bondong memberikan hadiah pada hari giliran Rasulullah Saw di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin memperoleh kebaikan sebagaimana yang bdiinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu, maka Rasulullah Saw menghmbau kepada orang-orang Islam untuk  memberikan hadiah kepada beliau pada giliran isteri Rasulullah Saw yang mana saja. Ummu Salamahpun telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah Saw. Dia berkata, “Rasulullah Saw telah berpaling dariku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kembali memperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku mengingatkan beliau untuk ketiga kalinya, beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak turun selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku berada dalam satu selimut dengan Aisyah.” (HR. Muslim)
Aisyah demikian memperhatikan sikap dan perangai Rasulullah Saw. Apa yang dilakukannya sedapat mungkin membuat Rasulullah Saw senang karenanya. Demikian juga, apa yang Rasulullah Saw tidak menyukainya, maka ia akan benar-benar menjauhinya. Ia akan selalu bersikap ceria kepada Rasulullah Saw.
Bila bertanya, Aisyah selalu dengan nada canda, “Ya Rasulullah Saw, bagaimanakah cintamu padaku?” Rasulullah Saw menjawab, “Bagaikan untaian tali.” “Bagaimana untaian tali itu Ya Rasul?” Rasulullah Saw menjawab, “Ia akan tetap ebagaimana semula.”
Suatu hari Amr bin Ash bertanya, Siapakah orang yang paling Anda  cintai?” Rasululah Saw menjawab.”Aisyah!”  “Di antara lelaki?” Tanya Amr kembali. Rasulullah Saw menjawab, “Ayahnya.” (HR. Muttafaq Alaih)
Walaupun terdapat perasaan cemburu di kalangan para isteri Rasulullah Saw yang lain, namun mereka tetap menghormati Aisyah dan mengakui kedudukannya. Ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya.”
Saudah binti Zum’ah adalah salah seorang isteri Rasulullah Saw yang sangat dekat dengan Aisyah. Saudah menyadari kebahagiaan Rasulullah Saw bersama Aisyah. Saudah rela melakukan apapun yang membuat Rasulullah Saw menyukainya melalui Aisyah. Karena itu, ketika ia telah merasa lanjut usia, ia berikan hari-hari gilirannya kepada Aisyah.(HR. Bukhari dan Muslim).
Disebabkan pandainya Aisyah membuat Rasulullah Saw bahagia, maka para istri Rasulullah Saw sering memnta bantuan Aisyah untuk memintakan maaf untuk mereka. Rasulullah Saw pernah marah besar kepada Shafiyah binti Huyai bin Akhtab. Kepada Aisyah ia berkata, “Apakah engkau dapat merelakan Rasulullah Saw kepadaku? (maksudnya memintakan maaf) dan engkau akan mendapatkan hari bagianku.” Aisyah menjawab, “Ya.” Kemudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi minyak za’faron  dan disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu, dia duduk di sebelah Rasulullah Saw, Namun Rasulullah Saw berkata, “Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan bagianmu.’ Aisyah berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberikan Allah Swt yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya.’ Aisyah kemudian menceritakan permasalahannya dan Rasulullah Sawpun rela kepada Shafiyyah.”
Begitu istimewanya Aisyah di mata Rasululah, sehingga katika sakit menjelang wafat, Rasulullah Saw meminta ijin kepada isteri-isterinya untuk dirawat di rumah Aisyah. Aisyah mengatakan, “Sungguh merupakan kenikmatan Allah Swt atas diriku, bahwa Rasulullah Saw wafat di rumahku, dalam pelukanku.”
Keistimewaan lain yang ada pada diri aisyah,  adalah kepandaianya dalam ilmu tata bahasa sehingga mampu merangai kata dengan indah dan menyenangkan. Demikian juga tanggapan-tanggapannya atas ucapan Rasulullah Saw menunjukkan ia adalah seorang yang romantis sehingga mapu menghidupkan suasana.
Rasulullah Saw pernah berkata kepadanya, “Aku terhadapmu adalah bagai Abu Zar’in terhadap istrinya.” 
Aisyah menukas, “Ya Rasul, Anda  lebih baik daripada Abu Zar’in!”
Diriwayatkan Rasulullah Saw mengatakan, “Sungguh aku tahu kapan engkau senang dan kapan engkau marah padaku.”
Aisyah bertanya dengan nada menyelidik, “darimana engkau tahu hal itu?”
Rasulullah Saw menjawab, “Apabila engkau senang kepadaku maka engkau katakana, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad,’ dan apabila sedang marah maka engkau katakana, ‘Tidak demi Tuhan Ibrahim.”
Aisya menjawab, “Benar, demi Allah Swt ya Rasululalh, aku hanya menjauhi namamu saja.”
Pernah suatu saat, karena sifatnya yang selalu berusaha untuk menyenangkan Rasulullah Saw, Rasulullah Saw melihatnya memakai gelag-gelang perak yang dipakainya. Rasulullah Saw bertanya, “Apakah  ini Ya Aisyah?” Aisyah menjawab, “Aku memakainya untuk berhias kepadamu Ya Rasul!”  Rasulullah Saw bertanya, “Apakah engkau sudah keluarkan zakatnya?” Aisyah menjawab, “Belum.” Rasululllah kemudian berkata mengancam, “Itu sudah cukup untuk memasukkanmu ke dalam neraka!” (HR. Abu Daud).
Kepda kaumnya Aisyah selalu mengingatkan agar selalu menghia diri. Ia pernah berkata, “Jika engkau mempunyai suami, dan engkau sanggup mencabut kedua kelopak matamu, untuk kemudian meletakkannya dalam keadaan yang lebih baik dari semula, maka lakukanlah!”
Selain itu, dalam berhias Aisyah selalu memperhatikan etika dan kepantasan. Pakaian yang dipakainya dijadikan mode oleh kaumnya. Itulah sebabnya, tidak jarang ia di datangi oleh kaumnya untuk meminjam gaun pengantin. Suatu ketika sahaya perempuannya menolak untuk memakai bajunya. Aisyah berkata, “Aku pernah mendapat baju dari mereka di zaman Rasulullah Saw. Setiap wanita yang ingin dihias di Madinah, tentu mengirim orang kepadaku, untuk meminjamnya.(HR. Bukhari)

F. Pencemburu
Sebagaimana diketahui, Aisyah, isteri Rasulullah Saw Saw terkenal sebagai wanita pencemburu. Adalah Halah binti Khuwailid –saudara perempuan Khadijah mengenal betul tata cara saudaranya itu, Khadijah, bila meminta ijin kepada RasulullahSaw. melihat itu, Rasulullah Saw merasa senang dan terharu karena mengingatkannya pada Khadijah, sehingga terlontar ucapan, “Ya Allah, Halah binti Khuwailid.” Kontan Aisyah reaktif, “Mengapa engkau masih saja mengingat wanita Quraisy yang sudah tua, bermulut merah dan telah tiada itu? Bukankha Allah Swt telah memberikan ganti dengan isteri yang lebih baik darinya?” (yang dimaksud adalah dirinya sediri).
Rasulullah Saw terlihat agak marah dan menyahut, “Demi Allah, tidak! Tiada yang lebih baik darinya. Ia telah mempercayaiku ketika orang mendustakanku. Ia telah membantuku dengan hartanya ketika orang-orng tidak memberi apa-apa. Allah Swt mengaruniaiku anak-anak darinya, tidak dari isteri-isteriku yang lain.” (HR. Muslim dan Ahmad bin Hanbal)
Suatu hari Rasulullah Saw diberi orang hadiah daging unta yang sudah disembelih, maka nabi dengan tangan beliau sendiri mengambil sebagiannya dan menyuruh seseorang pergi untuk memberikannya kepada seorang bekas teman Khadijah. Melihat hal itu, Aisyah berkata, “Mengapa engkau kotori tanganmu sendiri?” Rasulullah Saw menerangkan bahwa Khadijah tela berwasiat kepada beliau tentang wanita itu. Timbullah ceburu Aisyah dengan berkata, “Sungguh, seolah-olah tidak ada lagi wanita di muka bumi ini wanita selain Khadijah.” Nabi Saw bangkit berdiri dan pergi dengan nada marah. Beberapa saat kemudianbeliau datang lagi dan didapatinya Aisyah bersama Ibunya (Ummu Ruman). Ummu Ruman berkata, “Ya Rasulullah Saw, ada apa antara dirimu dengan Aisyah? Ia masih kanak-kanak, maka engkaulah yang dapat memaafkannya.” Nabi Saw lalu memegang ujung bibir Aisyah sambil berkata, “Bukankah engkau yang mengatakan seolah-olah tidak ada lagi wanita di atas muka bumi ini selain Khadijah. Demi Allah, dia telah beriman kepadaku di waktu kaummu sendiri kufur kepadaku dan aku dikaruniai anak-anak dengan dia sementara dengan kamu aku tidak diberi anak.”
Aisyah boleh saja cemburu kepada Khadijah yang telah tiada itu, namun pada waktu yang sama, kecemburuan para isteri Nabi yang lain tidak dapat disembunyikan.
Sebagaimana telah disebutkan tentang pengakuan Aisyah tentang keluhan Ummu Salamah tentang tidak adilnya kaum muslimin dalam memberikan hadiah, di mana mereka sengaja memilih hari giliran Rasulullah Saw untuk Aisyah. Sebagai wakil dari isteri Rasulullah Saw yang lain, Ummu Salamahpun menyampaikan kepada mereka tentang kegagalan usahanya. Kelompok isteri Rasulullah Saw itu memutuskan untuk meminta bantuan kepada Fatimah, puteri Rasulullah Saw.
Demikianlah, pada suatu saat, ketika Rasulullah Saw sedang berbaring di rumah Aisyah, Fatimah datang. Kehadirannya sebagai utusan dari isteri-isteri Nabi yang lain tersebut. Ia berkata, “Ya Rasulullah Saw, sesungguhnya aku diutus oleh para isteri engkau, untuk meminta keadilan mengenai anak wanita Abu Quhafah (Aisyah).” Aisyah diam saja sementara Rasulullah Saw berkata, “Wahai anakku, apakah engkau mencintai apa yang aku cintai?” Fatimah menjawab, “Ya.” “Jika demikian, cintailah ini,” sambil Rasulullah Saw menunjuk kepada Aisyah.
Fatimah meyampaikan apa yang dikatakan Rasulullah Saw tersebut kepada kelompok isteri Nabi yang mengutusnya. Mereka berkata, “Kami belum puas dengan apa yang telah engkau lakukan itu. Kembalilah lagi dan katakana bahwa para isteri Nabi memohon keadilan mengenai anak wanita Abu Quhafah.” Namun Fatimah menolaknya, “Demi Allah, aku tidak mau membicarakan hal itu lagi kepada beliau untuk selamanya.” Akhirnya mereka mengutus Zainab binti Jahsy untuk menemui Rasulullah Saw. Dalam penilaian Aisyah Zainab adalah sosok yang sangat baik, “Hanya dialah yang dapat menyamai kedudukanku di sisi Rasulullah Saw. Dan aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya dari Zainab…..”
Zainab menemui Rasulullah Saw ketika beliau masih dalam satu selimut dengan Aisyah. Ia kemudian berkata, “Ya Rasulullah Saw, sesungguhnya para isteri engkau telah mengutusku untuk memohon keadilan mengenai anak wanita Abu Quhafah (Aisyah).”
“Sampai di situ, Zainab tidak dapat menahan emosi dan ia mengomel terus tentang diriku.”Kata Aisyah. “Aku memperhatian Rasulullah Saw, memperhatikan matanya apakah beliau mengizinkan aku berbicara?”
Dari situ Aisyah mengetahui bahwa Rasulullah Saw akan membiarkannya untuk berbicara membela diri. Aisyahpun berdiri sehingga menabrak tubuh Rasulullah Saw, kemudian mendampratnya hingga Zainab tidak bisa berkata lagi. Rasulullah Saw hanya tersenyum sambil berkata, “Inilah anak wanita Abu Bakar itu.” (HR. Muslim)
Dalam peristiwa ini, Rasulullah Saw sama sekali tidak menyuruh Aisyah membalas kata-kata Zainab, hanya saja Rasulullah Saw memberikan kebebasan kepada Aisyah untuk membela diri dari apa yang barangkali tidak dilakukannya.

G. Berita Bohong
Sejarah hidup Aisyah pernah ternoda oleh fitnah yang dilontarkan oleh orang-orang munafik. Berita yang dihembuskan dengan tujuan untuk mengguncang rumah tangga Rasulullah Saw ini membuat suasana membingungkan dan diliputi kesedihan. Bukan hanya dalam keluarga Rasulullah Saw, namun juga seluruh umat Islam waktu itu. Rasulullah Saw sendiri bahkan sempat menunjukkan sikap menjauh dan mendiamkan Aisyah karena berita tersebut, hingga kemudian Allah Swt Swt menurunkan wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah.
Aisyah ra. berkata,  “Setiap Rasul Allah  hendak bepergian jauh, beliau mengadakan undian siapakah di antara istri-istri beliau yang akan di ajak pergi. Ketika beliau keluar untuk menhadapi Bani Al-Mushthaliq, akulah yang memenangkan undian itu, dan aku berankat menyertai beliau…..
“Dalam saat-saat seperti itu para istri Nabi biasanya banyak makan sayur-mayu.Mereka sedikit makan daging agar tidak menambah berat badan. Bila aku hendak pergi menunggang unta, aku duduk didalam haudaj (rumah mini terpasang diatas punggung unta), kemudian beberapa orang mengangkat haudaj itu ke atas, dipasang di atas punggung unta, dan setelah di ikat kuat-kuat barulah mereka pergi…….
“Setelah Rasul Allah selesai melaksanakan tugas perjalanan itu, beliau beranjak pulang. Setibanya dekat Madinah beliau singgah di sebuah rumah dan beristirahat di tempat itu beberapa saat lamanya di malam hari.Kemudian beliau memberi aba-aba untuk berangkat lagi Di saat semua  orang sedang berkemas-kemas hendak beraangkat, aku keluar untuk membuang hajat. Ketika itu aku memakai kalung di leherku, ternyata sudah tidak ada lagi. Kiluhat rombongan sedagn bresiap-siap untuk berangkat, aku lalu pulang lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi untuk mencari-cari kalung hingga dapat kutemukan kembali.
“Di saat aku sedang mencari-cari kalung datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereke sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada dalam haudaj sebagaimana biasa dalam perjalanan, oleh karena itu haudaj kemudian mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa aku tidak berada di dalam haudaj. Karena itu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai bangkit.”
“Ketika aku pulang kembali ke tempat perkemahan, tidak kujumpai seorangpun yang masih tinggal. Semuanya telah berngkat. Dengan berselimutkan jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Muathal as-Silmi lewat. Agaknya ia terlambat berangkat karena suatu keperluan, Karen aitu tidak ada orang lain yang menemaninya. Dari kejauhan, ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku. Ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib berhijab (berpakaian tertutup seluruh tubuh). Ketia melihatku, ia berucap, ‘Inna lillahi wainna ilaihi rajiun! Istri Rasulullah Saw?’ Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku.
Ia bertanya, ‘Mengapa Anda  ketinggalan?” aku tidak menyahut. Ia lalu medekatkan untanya kepadaku seraya berkata, ‘Silakan naik,’ Ia mundur agak jauh dib belakangku. Setelah aku naik, ia menarik tali kekang unta lalu bejalan sambil mencari orang-orang lain di sekitar tempat yang dilewatinya. Demi Allah, tak seorangpun yang kulihat dan tidak ada orang yang mencari-cari diriku hingga pagi. Semua rombongan telah sampai di Madinah.Ketika mereka melihat seorang pria menuntun unta yang kunaiki, mulailah orang-orang membuat kabar bohong  yang ditelan mentah-menatah oleh banyak orang. Demi Allah, ketika aku sendiri sama sekali tidak mengetahui apa yang didesas desuskan  mereka.
Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu. Saat itu aku belum mendengar mengenai kabar vohong tersebut. Tetapi hal itu rupanya sudah didengar oleh Rasulullah Saw dan ayah ibuku, namun mereka sama sekali tidak memberitahukannya kepadaku. Ketika itu aku hanya heran melihat sikap Rasulullah Saw yang tidak seperti biasa terhadap diriku yang sedng sakit.
Aku merasa tidak enak, karena ketika beliau dating kepadaku dan ibuku sedang merawatku, beliau hanya bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ tidak lebih dari itu. Akhirnya setelah aku melihat sikap beliau yang selalu dingin terhadap dirik, aku marah dan bertanya, ‘Ya Rasulullah Saw, apakah Anda  mengiinkan aku pindah ke rumah ibuku?’ Beliau menjawab, ‘Boleh saja.’
Aku lalu pindah ke rumah ibuku. Hingga saat itu aku juga belum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi Setelah menderita sakit selama dua puluh hari lebih, kesehatanku mulai pulih kembali. Kami adalah masyarakat Arab. Masyarakat Arab tidak biasa mempunyai kakus di rumah. Bila hendak membuang hajat, wanita Arab pergi keluar agak jauh dari rumahnya. Biasanya hal itu dilakukan pada tiap malam. Pada suatu malam aku keluar untuk membuang hajat bersma Ummu Misthah. Di saat kami sedang berjalan, tiba-tiba kakinya terantuk hingga kesakitan dan terlontar dari mulutnya ucapan, ‘Celakalah Misthah!’ Ia kutegur, ‘Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum muhajirin yang turut serta dalam perang badr!’
“Hai putera Abu bakar, apakah Anda  tidak mendengar berita mengenai hal itu?” Tanya Ummu Misthah kepadaku. Aku balik bertanya, “Kabar apa?’ Ia lalu memberitahukan kepadaku kabar bohong yang didesas desuskan orang. Aku bertanya lagi, “Apakah itu benar-bena terjadi?” Ia menjawab, “Ya benar. Demi Allah Swt itu benar-benar terjadi!”
Aku tidak jadi membuang hajatku, lalu segera pulang. Demi Allah, sejak itu aku terus menerus menangis, serasa hancurlah hatiku. Kukatakan kepada ibuku, “Semoga Allah Swt  mengampuni ibu! Orang ramai membicarakan kabar bohong mengenai diriku, tetapi ibu sama sekali tidak memberitahukan hal itu kepadaku.” Ibuku menyahut, “Anakku sayang, tabahkan hatimu! Tidak jarang wanita yang baik dan dicintai suaminya, jika dimadu ia tentu menjadi pembicaraan orang banyak.”
Dalam suatu khutbahnya, yang tidak kudengar sendiri, setelah memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah, Rasulullah Saw berkata kepada kaum muslimin, “Hai kaum muslimin, mengapa banyak orang mengganggu ketentraman rumah tanggaku dan mengatakan hal-hal yang tidak benar mengenai mereka? Demi Allah, yang kuketahui mereka itu adalah orang baik-baik. Mengenai hal itu banyak orang-orang menyebut nama seorang pria. Demi Allah, aku mengetahui benar bahwa ia adalah orang baik. Setiap bertemu dengan keluarga, ia selalu bersama-sama aku…”
“Persoalan itu dibesar-besarkan  oleh Abdullah bin Ubay di kalangan orang-orang Khazraj. Misthah dan Himnah binti Jahsy turut membesar-besarkannya juga. Himnah adlah adik perempuan Zainab binti Jahsyi, salah seorang isteri Rasulullah Saw. Di antara para wanita anggota keluarga Nabi, tidak ada iri hati terhadap kedudukan di sisi beliau, kecuali Himnah. Zainab binti Jahsy sendiri sangat tekun beribadah dan tidak berkata selain yang serba baik. Himah itulah yang menyampaikan berita bohong kepada kakak perempuannya, sehingga aku merasa sangat terganggu karenanya.
Setelah Rasulullah Saw mengakhiri khutbahnya, Usaid bin Hudhair menyahut, “Ya Rasul, kalau yang  menyebarkan berita fitnah itu orang-orang dari Aus, kamilah yang akan bertindak terhadap mereka. Kalau yang menyebarkan berita bohong itu adalah saudara-saudara kami sendiri dari Khajraj, perintahkanlah kami memamncung lehernya!” Mendengar ucapan Usaid itu, Saad bin Ubadah menyanggah, “Demi Allah, engkau bohong! Engkau tidak akan dapat memancung leher mereka! Engkau berkata seperti itu karena engkau sudah tahu bahwa mereka itu dari Khazraj. Kalau mereka itu dari kaummu sendiri (Aus) tentu engkau tidak akan mengucapkan kata-kata itu!”
Usaid menjawab, “Demi Allah, engkaulah yang bohong! Engkau munafik karena engkau hendak membela orang-orang munafik!”
Terjadilah pertengkaran sengit sehingga hampir mengakibatkan pertikaan bersenjata antara dua kabilah itu, Aus dan Khazraj, akan tetapi kemudian berhasil dilerai oleh Rasululah Saw. Saat itu datanglah Ali bin Abi Thalib. Rasulullah Saw kemudian memanggil Ali dan Usamah bin Zaid untuk dimintai pendapatnya. Ketika itu Usamah berkata, “Ya Rasulullah Saw! Mereka adalah keluarga Anda . Yang kuketahui mereka itu semuanya baik-baik. Adapun desas desus itu sepenuhnya bohong dan tidak benar sama sekali.”
Sementara Ali mengatakan, “Ya Raulullah, masih banyak wanita dan Anda  bisa mendapatkan gantinya! Tanyakanlah hal itu kepada pelayan perempuan. Ia pasti akan memberikan keterangan yang benar kepada Anda.”
Rasulullah Saw lalu memanggil pelayan perempuan bernama Burairah untuk ditanya. Ketika pelayan itu menghadap, Ali membentak, “Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah Saw!” Mendengar pertanyaan yang diajukan kepadanya pelayan itu menjawab, “Demi Allah, apa yang kuketahui adlaah yang baik-baik saja. Saya tidak pernah melihat Aisyah berbuat yang tidak baik, kecuali pada waktu saya selesai mengadon terigu dan saya minta agar ia menungguinya, tetapi ia ketiduran hingga datanglah seekor kambing lalu adonan terigu itu dimakannya.”
Pada suatu hari Rasulullah Saw datang ke rumahku. Saat itu ayah ibuku berada di rumah. Aku sedang menangis dan seorang wanita Anshar yang menemaniku juga turut menangis. Beliau lalu duduk Setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah, beliau berkata, “Hai Aisyah, ternyata engkau telah mendengar apa yang telah terjadi mengenai pembicaraan orang banyak, oleh karena itu  hendaklah engkau bertakwa kepada Allah. Jika engau merasa berbuat buruk seperti yang dikatakan orang banyak, hendaklah segera bertaubat kepada Allah, karena Allah Swt  berkenan menerima taubat dari para hamba-Nya.”
Demi Allah Swt  ketika ucapan itu diperdengarkan kepadaku, tanpa teraa airmataku tambah bercucuran. Aku menunggu sampaayah ibuku menjawab dan memberikan ketrangan mengenai diriku, tetapi keuana tidak berbicara sama sekali.
Aku sadar bahwa aku terlampau renah dan terlampau kerdil untuk dapat mengharapkan turunnya wahyu Ilahi mengenai persoalan diriku. Walaupun demikain aku mengarap mudah-mudahan nabi bermimpi ndalam tidurnya, melihat sesuatu yang dapat menunjukkan kebohongan orang banyak tentang diriku, agar beliau mengetahui bahwa aku sungguh tidak berslah. Tentang turunnya wahyu mengenai diriku, demi Allah, aku ini sungguh terlalu rendah untuk mengharapkannya.
Ketika aku melihat ayah ibuku tetap diam, aku bertanya kepada mereka, “Kenapa ayah dan ibu tidak mau menjawab Rasulullah Saw?” Mereka menyahut, “Demi Allah, kami tidak tahu harus bagaimana menjawab.” Aku belum pernah melihat ahlul Bait mengalami sesuatu seperti yang dialami oleh keluarga Abu Bakar pada waktu itu. Karena ayah ibuku tetap dia, akhirnya akulah yang menerangkan sendiri, lalu kukatakan, “Demi Allah Swt aku tidak mau bertaubat mengenai persoalan yang Anda  sebutkan tadi. Aku benar-benar tidak tahu menahu soal yang didesas desuskan itu. Kalau aku mengetahui apa yang didesas desuskan oleh orang-orang itu dan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, berarti aku mengatakan sesuatu yag tidak pernah terjadi, tetapi aku menolak apa yang dikatakan mereka, kalian tidak mempercayai diriku.” Ketika itu terlintas dalam ingatanku kisah Nabi Ya’qub as karena itu aku lalu mengutip ucapannya Nabi Yusuf itu, “Sebaiknya aku bersabar, kepada Allah Swt  sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukiskan.”
Rasulullah Saw masih belum bergerak dari tempat duduknya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Ilahi. Beliau menyelimuti diri dengan kain dan menaruh bantal di bawah kepala. Ketika melihat dalam keadaan seperti itu, aku tidak takut dan tidak peduli, kaena aku yakin benar diriku tidak bersalah dan Alah pasti tidak akan berlaku dhalim terhadap diriku. Adapun mengenai ayah ibuku, demi Allah Swt yang nyawakku berada di tangannya, ketika melihat Rasulullah Saw dalam keadaan seperti itu, keduanya kulihat sangat ketakutan kalau-kalau beliau menerima wahyu Allah yang membuktikan benarnya apa yang dikatakan oleh orang banyak. Beberapa saat kemudian Rasululah bangun lalu duduk. Dari wajah beliau menetes butiran-butiran keringat laksana mutiara berkilauan. Sabil duduk menyeka keringat beliau berkata, “Hai Aisyah, gembiralah, Allah Azza Wajalla telah menurunkan wahyu-Nya membuktikan engkau tidak bersalah!” Aku menyahut, “Alhamdulillah!” Beliau kemudian keluar untuk menyampaikan firman Allah Swt  kepada orang banyak,
“Sesungguhnya orang-orang yang menyebarluaskan berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian. Setiap orang dari mereka menerima balasan atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyebarluasan berita bohong itu (disediakan) baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nur; 11) (Hadits sahih dari Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw kemudian menjatuhakn hukuman had (cambuk) kepada beberapa orang yang turut menyebarluaskan tuduhan bohong tersebut, yaitu Hasan bin Harits, Misthah dan Himnah. Yang mengherankan justru Abdullah bin Ubay sendiri sebagai biang keladi fitnah dan penyebarluasan berita bohong itu, lolos dari hukuman. Ia telah mengetahui terlebih dahulu apa yang akan terjadi dan setelah berhasil menimpakan musibah kepda orang lain, ia melarikan diri.
Mengenai sosok Abdullah bin Ubay, dari awal memang terbukti telah melakukan beberapa penghianatan yang mengokohkan dirinya sebagai orang munafik. Dilihat dari kaislamannya tidak lebih disebabkan ketidakberdayaan diri dan kaumnya untuk melawan kekuatan Nabi, maka dengan cara-cara kemunafikan itulah ia berusaha untuk menghancurkan Islam. Hal ini bisa dibuktikan ketika terjadi peristiwa operasi militer kaum Yahudi Bani Nadhir, dialah yang memaksa Nabi untuk tidak menjatuhkan hukuman terhadap mereka, sehingga pada akhirnya permusuhan itu terus berlanjut. Demikian juga ketika terjadi perang Uhud. Dialah yang memelopori pembelotan tiga ratus pasukan keluar dari barisan untuk tidak turut berperang.

H. Aisyah di Antara Kaumnya
Aisyah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama wanita. Ia menjadi harapan bagi para wanita dalam menyelesaikan masalahnya. Bahkan tidak jarang wahyu tentang wanita itu turun di kamarnya.
Pernah terjadi seorang wanita mengadu kepada Aisyah. Ia telah diperlakukan tidak baik oleh suaminya. Suaminya telah menceraikannya berkali-kali dan merujuknya kembali. Hal ini memang menjadi tradisi yang kuat dan biasa saja di kalangan masyarakat Arab, sebelum Islam memberikan ketentuan yang tegas. Aisyah sendiri tidak mampu manjawab permasalahan yang rumit itu, demikian juga dengan Rasulullah Saw karena memang tidak ada dalil hukum yang telah mengaturnya. Akhirnya Allah Swt Swt menurunkan wahyu,
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk kebali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Dengan turunnya ayat ini, maka ketentuan menjadi jelas dan membatasi kewenangan suami terhadap isteri yang pada mulanya jelas sangat merugikan pihak isteri.
Seorang gadis bernama Khasa binti Khidzam pernah mengadu kepada Aisyah. Hal ini dikarenakan ayahnya telah bertindak tanpa mengindahkan hak-haknya. Ayahnya akan menikahkannya  dengan putra saudaranya tanpa persetujuan darinya. Hal ini dilakukan ayahnya agar mengangkat derajatnya. “Tapi aku tidak suka” katanya kepada Aisyah. Akhirnya Aisyah membawa persoalan ini kepada Rasulullah Saw untuk mencari penyelesaiannya. Rasulullah Saw kemudian menyuruh seseorang untuk memanggil ayah sang gadis. Rasulullah Saw kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada gadis itu, menyetujui maksud ayahnya ataukah manolaknya. Gadis itu berkata, “Ya Rasulullah Saw, aku menyetujui keputusan ayahku. Aku hanya ingin tahu, apakah kaum wanita punya hak dalam urusan ini?” ia memberikan penjelasan atas sikapnya itu. (HR. Bukhari dan Nasai)
Karena perhatiannya kepada para wanita, seringkali Aisyah langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat dalam rangka memberikan penetapan dan ketegasan huku. Pada sutu kali, ia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamsah di Syam mandi di tempat pemandian uum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Perempuan yang melepaskan bajunya di tmpat selin rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Sepeninggal Rasulullah Saw terdapat perubahan dalam gaya hidup, termasuk cara berpakaian mereka, dengan mengatakan, “Seandainya Rasulullah Saw melihat apa yang terjadi pada wanita masa kini, niscaya beliau akan melarang mereka memauki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.” (HR. Muttafaq alaih).
Aisyah sangat ketat dalam hal aturan berbusana. Pakaian wanita, dalam pandangannya, adalah yang selalu menutupi tubuhnya dari ujung rampbut sampi ujung kaki, melindunginya dari pandangan laki-laki yang bukan muhrimnya. Bahkan ia tidak segan-segan merobek-robek pakaian tipis yang dikenakan oleh wanita muslim. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya, bahwa Hafsah binti Abdurrahman pernah menemui Aisyah dalam keadaan memakai kerudung yang tembus pandang, tipis. Oleh Aisyah, kerudung tipis itu dirobeknya dan kemudian digantinya dengan kerudung yang tebal.
Apa yang dilakukan Aisyah sebagaimana beberapa peristiwa di atas merupakan bentuk perhatian dan pelindungannya terhadap wanita. Sungguh tepat jika Aisyah memiliki rasa tanggungjawab besar terhadap keselamatan wanita Islam, mengingat beliau adalah isteri Rasulullah Saw, pemimpin umat Islam. Sebab itu pulalah, Aisyah amat selektif terhadap hadist-hadits yang berhubungan dengan wanita.
Suatu hari, dua orang laki-laki mendatanginya dengan membawakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya pertanda buruk itu ada pada wanita, kendaraan dan rumah.” Mendengar ini, Aisyah marah, “Demi Allah, tidak demikian yang dikatakannya (Rasulullah Saw).” Menurut Aisyah bahwa Rasulullah Saw bersabda dengan mengutip perkataan orang-orang jahiliyah, “Pertanda buruk itu ada pada perempuan, kendaraan dan rumah.” Aisyah lalu membaca ayat, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-mahfudz) sebelum kami menciptakannya.” (Al-Hadid; 22)

I. Rasulullah Saw Wafat di Pangkuannya
Dirawayatkan Rasululah Saw ketika sakit di rumahnya merupakan kehormatan tersendiri bagi Aisyah karena dapat merawat beliau pada detik-detik kewafatannya. Rasulullah Saw sendiri pada waktu sakit, meminta izin kepada isteri-isterinya untuk dapat dirawat di tempat Aisyah. Aisyah meriwayatkan,
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullah Saw wafat dirumahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang beliau wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman. Aku segera memahami bahwa beliau menginginkan siwak yang ada padanya. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku menghaluskannya?’ beliau memberikan isyarat dengan kepalanya, sepertinya mengisyaratkan ‘ya.’ Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sementara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukkan kedua belah tangan dan enusapkannya di wajah seraya berkata, ‘Laa Ilaaha illallahu…, setiap kematian mengalami sekarat (beliau  mengangkat tangannya) pada Allah Yang Maha Tinggi.’ Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawah.” (HR. Muttafaq Alaih)
Pengalaman mendampingi orang yang sedang sakaratul maut itulah yang membuat Aisyah semakin arif, “Setelah aku melihat Rasulullah Saw wafat, aku tidak lagi membenci dahsyatnya maut seseorang.”
Rasulullah Saw wafat dan dikuburkan di kamar Aisyah, di tempat beliau meninggal. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bermula dari mimpi Aisyah yang melihat ada tiga bulan jatuh di kamarnya. Ayahnya, Abu Bakar menafsirkan, “Jika mimpimu benar, maka akan dikuburkan tiga orang terbaik.” Dan ketika Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar berkata, “Ia adalah bulanmu yang terbaik, Aisyah!” Rasulullah Saw pun kemudian dikuburkan di rumahnya. Abu Bakar dan Umar juga dikubur di kamar Aisyah. (HR. Tabrani).



J. Pasca Wafatnya Rasulullah Saw.
Tentu saja wafatnya Rasululalh Saw meninggalkan duka mendalam di hatinya. Ia tetap tinggal di kamarnya, menghibur diri di sebelah makam Rasulullah Saw. Selama beberapa waktu ia menghentikan aktivitas ilmiah. Suatu hari para isteri Rasul mengutus Utsman menemui Abu Bakar, khalifah waktu itu, untuk meminta warisan. Aisyah terkejut karenanya. Kemudian ia membaca hadits Nabi, “Kami golongan Nabi, tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adlah sedekah.” (HR. Ahmad bin Hanbal)
Pada masa Umar bin Khatab menajdi Khalifah, aktivitas keilmiahan Aisyah mulai nampak berkibar. Kaum muslimin banyak bertanya tentang hadits-adits Rasulullah Saw. Ibnu Saad meriwayatkan, “Para isteri Rasulullah Saw memang banyak menghafal tentang hadits. Tapi tiada yang dapat menandingi Aisyah dan Ummu Salamah. Aisyah mengeluarkan fatwa di masa pemerintahan Umar dan Utsman hingga wafatnya. Umar dan Utsman, juga mengutus orang bertanya kepadanya, tentang sunnah-sunnah.”
Pada suatu saat para sahabat berselisih tentang kewajiban mandi, setelah melakukan hubungan suami isteri, tanpa menumpahkan mani. Abu Musa berkata, “Aku akan menjawab persoalan ini.” Iapun pergi ke rumah Aisyah, dan menanyakan persoalan itu. Aisyah menjawab dengan membaca hadits Rasulullah Saw, “Apabila seseorng duduk di antara keempat anggotanya, dan khitan menyentuh khitan, maka mereka telah wajib mandi.”
Umar sendiri pernah dikoreksi oleh Aisyah. Ini terjadi ketika ia berpendapat bahwa tidak patut orang yang sedang ihram memakai minyak wangi. Ketika Aisyah mendengarnya, ia berkata, “Aku meminyaki Rasulullah Saw dan di waktu pagi masih ada bekas misik pada belahan rambutnya.”
Para Ummul Mukminin, sepeninggal Rasulullah Saw maih tetap diperhatikan oleh para sahabat. Al-Faruq sering mengunjungi dan memeriksa keadaan mereka. Demikian juga Umar, terlebih ketika beliau menjadi khalifah. Umar selalu mengirimkan makanan berupa kepala dan kaki kambing. Ia memiliki sembilan piring tempat menaruh makanan dan buah-buahan, untuk dikirim untuk para janda Rasulullah Saw. Ketika tanah Khaibar dibagi, Umar memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih; mendapatkan sebidang tanah atau tunjuangan 100 wasaq gandum per tahun. Aisyah dan Hafsah memilih tunjangan hidup itu.
Mengenai perhatian Umar itu, Aisyah berkata, “Umar bin Khatab selalu mmperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian dikirmkan kepada isteri-isteri Nabi.”  Dengan Utsman, Aisyah sangat menghormatinya karena Utsman juga memiliki kedudukan terhormat di sisi Rasulullah Saw. Aisyah pernah berkata, “Nabi sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika beliau bertemu dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.” Ketika Aisyah menanyakan hal itu, Rasulullah Saw menjawab, “Aku merasa malu kepada seseorang yang malaikat malu kepadanya.”

K. Aisyah dan Ali bin Abi Thalib
Ada sementara anggapan yang masih banyak melekat di kalangan umat Islam dalam menanggapi hubungan antara Aisyah dan Ali yag tampaknya sangat tidak harmonis.  Pada umumnya anggapan tentang permusuhan antara Aisyah dan Ali didasarkan pada haditsul ifk (sebagaimana di atas) yang  menunjukkan kurang simpatiknya Ali dalam menanggapi tuduhan palsu tersebut. Demikian juga ketika terjadi perang Jamal yang bisa dikatakan perang antara Ali dan Aisyah. Barangkali kita perlu menyikapi persoalan tersebut dengan bijak dan analitis.
Bila disbanding dengan Ali, Aisyah lebih tersingung pada hassan bin Tsabit. Hassan memang termasuk mereka yang menyebarkan berita bohong itu dan mendapatkan hukuman dari Rasulullah Saw aw berupa hukuman cambuk. Urwah bin Zubair pernah mencaci Hassan sementara di dekatnya terdapat Aisyah. Aisyah berkata, “Jangan memakinya, sebab ia membela Rasulullah Saw.” (HR. Buhari). Di rumah Aisyah, Hassan diperlakukan dengan sangat baik. “Bila ia dating, disediakan alas duduk. Dan ia duduk di atasnya,” dikutip oleh Abdurrazaq dalam al-Mushanaf. Jika terhadap Hassan saja Aisyah tidak dendam mungkinkah kepada Ali ia dendam?
Aisyah sendiri berbicara banyak tentang kebaikan Ali. Aisyah pernah ditanya seorang sahabat, “Siapakah orang yang paling dicintai Rasulullah Saw?” Aisyah menjawab, “Fatimah.” Dari kalangan pria?” Dijawab Aisyah, “Suaminya. Sungguh aku tahu Ali adalah ahli shalat dan puasa.”
Sejarah memang mencatat suau peristiwa yang sebenarnya patut untuk disesalkan dan merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam, yakni pristiwa perang Jamal. Hal ini terjadi akibat pembelaan sebgai bentuk penuntutan balas atas kematian Ustman bin Affan yang dibunuh oleh sebagian Umat Islam. Pembelaan ini dipelopori oleh Aisyah. Pada waktu itu, Aisyah mengemukakan sebuah hadits dari Rasulullah Saw, “Hai Utsman, jika Allah Swt memberimu jabatan, lalu kaum munafik menginginkan agar engkau menanggalkannya, janganlah kau patuhi.”
Dalam perang Jamal (atau perang Unta) ini sebenarnya dapat dielakkan dengan perundingan yang dilakukan antara Ali dengan Talhah, Zubair, dan Aisyah di pihak lain yang hampir membuahkan kesepakatan damai. Namun terdapat golongan yang memang sebelumnya memberontak kepada Utsman yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba hingga terbunuhnya. Golongan inilah yang secara sepihak melancarkan serangan, ketika peundingan hampir berhasil.
Ketika peperangan usai dan Aisyah hendak kembali ke Madinah, Ali melengkapi Aisyah dengan kendaraan, bekal dan barang-barang yang diperlukan. Ali memberikan pengawalah kepada Aisyah, berupa 40 orang wanita yang keseluruhannya diserpaan seprti lelaki. Ali mengutus Muhammad bin Abu Bakar, saudara Aisyah, untuk memimpin pengawalan terhadap Aisyah. Ketika Ali datang menghadap, Aisyah memberikan pesan kepada umat Islam yang ada di tempat itu, “Hai anak-anakku, kita saling menyalahkan sekian lama. Maka janganlah seseorang memperhitungkan sesuatu yang didengarnya kepada orang lain. Demi Allah, tidaklah terjadi antara aku dan Ali kecuali apa yang terjadi antara mertua dan menantunya. Sungguh, meskipun aku telah menyalhkannya, ia adalah orang yang baik.”
Pada waktu itu Ali menjawab, “Demi Allah, dia telah berbuat baik. Tiada  yang terjadi antara dia dengan aku, kecuali itu. Sungguh ia adalah isteri Nabimu di dunia dan akhirat.”

L. Wafatnya
Aisyah wafat dalam usia 66 tahun pada bulan Ramadhan tahun ke 58 hijriah. Ketika Aisyah menderita sakit, ia berwasiat, “jangan antarkan kerandaku dengan membawa api, jangan meletakkan permadani merah di bawahku.”
Pada saat kritis itulah Abdullah bin Abbas minta ijin untuk menjenguknya, disusul Abdullah bin Abdurrahman –putra saudaranya- dengan badan membungkuk berbisik, “Ini, Abdullah bin Abbas minta izin menemuimu.”
Aisyah tahu bahwa kehadiran Ibnu Abbas tak lain kecuali memuji dan menyanjungnya, “Jauhkan aku dari dia. Aku tidak membutuhkan sanjungan dan pujiannya.” Dijawab, “Wahai ibu, Ibnu Abbas termasuk anggota keluargamu yang saleh. Ia memberi salam dan minta izin kepadamu.” “Izinkan dia.” Demikian akhirnya Aisyah mengizinkan.
Ibnu Abbas masuk, memberi  salam dan kemudian berkata, “Bergembiralah” Aisyah bertanya, “Mengapa?” Ibnu Abbas lalu berkata panjag lebar,
“Bila Anda  bejumpa dengan Rasulullah Saw dan para kekasih Allah, maka ruhmu akan keluar dari jasad. Sedagnkan Anda  adalah isteri Rasulullah Saw yangpaling dicintainya, dan Rasulullah Saw hanya mewncintai sesuatu yang baik. Kalungmu terjatuh pada malam Abwa’, dan di waktu pagi Rasulullah Saw mencarinya. Pernah orang-orang tiak mendapat air, lalu Allah Swt menurunkan ayat-ayat tayammum, itu terjadi karenamu. Dan ia merupakan keringanan yang diberikan Allah Swt bagi umat ini. Allah Swt menurunkan apa yang membersihkanmu dari atas tujuh lapis langit yang dibawa Jibril. Maka ayat inpun selalu dibaca di masjid-masijid Allah, setiap malam dan siang.”
Menanggapi pujian dan sanjungan seperti itu, Aisyah berkata, “Biarkanlah aku hai Ibnu Abbas! Demi Allah Swt yang nyawaku berada di tangan-Nya, aku ingin dilupakan sama sekali.”
Akhirnya pada hari senin, tanggal 17 Ramadhan tahun 58 hijriah itu, Aisyah mnghadap Allah. Ia dimakamkan pada malam itu juga, usai shalat witir di pekuburan Baqi’. Para pelayat membludak. Mereka dating dari segala penjuru, kota dan desa. Abu Hurairah ra memimpin shalat jenazah untuknya.Urwah bin Zubair, al-Qasim bin Muhammad bin abu Bakar, Abdullah bin Muhamad dan Abdullah bin Abdurrahman turun ke liang lahat.
Demikianlah Aisyah, yang telah dengan penuh kesabaran dan kesetiaan mendampingi Rasulullah Saw wafat dan meninggalkan jasa-jasa teramat besar bagi umat Islam. Namanya harum menghiasi setiap kalbu manusia beriman. Bagi para lelaki ia adalah guru sementara bagi para wanita, ia adalah sebaik-baik teladan.



No comments:

Post a Comment